Pendidikan kejuruan atau vokasi di jenjang menengah-tinggi saat ini masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Padahal, lulusan pendidikan vokasi yang siap kerja berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selain menghadapi tantangan citra sebagai “pendidikan kelas dua”, vokasi di Indonesia juga masih perlu diperkuat untuk relevansi kompetensi yang dihasilkan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Untuk itu, penguatan pendidikan vokasi harus menjadi fokus dan perhatian semua pihak.

Hal ini mengemuka dalam acara Teras Kita, Dialog Kritis dan Solutif untuk Negeri, dengan tema “Tantangan Mengatasi Kesenjangan Pendidikan dan Dunia Kerja”, di Restoran Solaria kawasan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (21/5). Acara yang digelar Harian Kompas, Kagama, dan Sonora Network itu menampilkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, Direktur Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia sekaligus Pimpinan Forum Perguruan Tinggi Vokasi Indonesia Sigit Pranowo Hadiwardoyo, serta Direktur Politeknik Manufaktur Astra Tony Harley Silalahi. Acara dipandu wartawan Kompas, Banu Astono.

 

Anies mengatakan, dunia pendidikan memang menghasilkan lulusan dengan jumlah besar tiap tahun. Pada sisi lain, kondisi ekonomi tak serta-merta memungkinkan terbukanya lapangan kerja yang menyerap semua lulusan. “Penawaran dan permintaan lulusan pendidikan ini memang masih ada kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki dan yang dibutuhkan,” ujarnya.

Menurut Anies, guna mengatasi kesenjangan dalam kompetensi lulusan sekolah dan perguruan tinggi, dunia usaha/industri perlu terlibat membantu penyelarasan di dunia pendidikan. Ekosistem sekolah juga perlu dibangun supaya dapat menjalankan pendidikan bermutu, yakni mengembangkan potensi anak didik (bakat, minat, karakter, moral, dan wawasan) serta keterampilan hidup mandiri dan bekerja.

Keberpihakan pada pendidikan vokasi di jenjang menengah, ujar Anies, terlihat dari pendirian SMK. Biasanya per tahun 20-25 SMK, pada tahun lalu ditingkatkan menjadi 70 SMK. Tahun ini direncanakan 341 SMK.

 

Ubah cara pandang

Sigit mengatakan, pendidikan vokasi sebenarnya juga salah satu jalur pendidikan selain akademik. Namun, selama ini pendidikan akademik (sarjana) lebih diunggulkan. Misalnya dalam penerimaan pegawai negeri sipil ataupun dalam dunia kerja di perusahaan swasta. Demikian pula perlakuan gaji lulusan vokasi yang secara kompetensi lebih unggul sering kali di bawah lulusan akademik. Cara pandang ini harus diubah.

“Harus ada perbaikan dalam perekrutan pegawai untuk memperlakukan setara antara yang vokasi dan akademik. Kita harus mengubah cara pandang pemerintah, masyarakat, dan perusahaan yang sampai saat ini masih lebih memandang ijazah daripada kompetensi,” ujarnya.

Harley mengatakan, dukungan untuk pendidikan vokasi harus diberikan pemerintah karena biaya operasionalnya, terutama untuk bisa memberikan pembelajaran praktik yang bermutu, tidak murah. Karena itu, sektor swasta bisa diajak membentuk konsorsium untuk membantu dunia pendidikan.

Dalam diskusi terungkap bahwa Politeknik Manufaktur Astra sebagai contoh yang baik karena dekat dengan industri dan memberikan peluang magang bagi mahasiswa di industri terkait. Alhasil, lulusannya pun dilirik perusahaan untuk direkrut karena lulusannya terampil. (ELN)

 

(dikutip dari Harian Kompas, edisi 23 Mei 2016, hal.11, “Pendidikan Kejuruan Janjikan Masa Depan”)

author avatar
Humas Program Pendidikan Vokasi UI
WhatsApp whatsapp
Instagram instagram
Email
chat Chat Us!