Depok-Diskursus mengenai kesehatan seksual sebagai bagian penting dari kesejahteraan manusia seringkali dianggap tabu di berbagai kalangan masyarakat, termasuk Indonesia. Terlebih, bagi penyandang disabilitas, akses terhadap kesehatan seksual menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Sehingga membutuhkan banyak forum komunikasi, baik ilmiah maupun publik, untuk membahas hak-hak kesehatan reproduksi mereka. Stigma budaya, pandangan sosial, dan ketidakpahaman mengenai hak-hak kesehatan reproduksi penyandang disabilitas turut menguatkan fenomena diskursus tersebut.
Dalam upaya memperjuangkan hak-hak tersebut dan meningkatkan kesadaran publik terhadap isu tersebut, program studi (prodi) Terapi Okupasi, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia (UI), menyelenggarakan kuliah umum “Kesehatan Seksual dan Disabilitas” beberapa waktu lalu. Kuliah umum ini menjadi langkah penting bagi UI dalam membangun kesadaran tentang isu kesehatan seksual di kalangan penyandang disabilitas dan mendorong terwujudnya kebijakan yang inklusif.
Kegiatan ini menghadirkan dua pakar kesehatan, Dr. Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Indonesia, dan Prof. Shaniff Esmail, M.Sc., Ph.D, dari Fakultas Rehabilitasi Universitas Alberta, Kanada. Keduanya memberikan perspektif yang komprehensif tentang pentingnya pemahaman kesehatan seksual bagi penyandang disabilitas, tantangan yang mereka hadapi, serta solusi yang dapat diterapkan baik di Indonesia maupun secara global.
Dante membuka seminar dengan pemaparan mengenai kondisi kesehatan seksual penyandang disabilitas di Indonesia. Sebagai Ketua KND, Dante memiliki peran penting dalam memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas dan menghadapi banyak tantangan yang berlapis. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 23,3 juta jiwa, dan 55,5% di antaranya adalah perempuan yang rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Situasi ini semakin diperparah oleh kurangnya edukasi kesehatan seksual serta terbatasnya akses ke layanan kesehatan bagi mereka.
Dante menyoroti berbagai bentuk disabilitas yang membutuhkan perhatian khusus, mulai dari disabilitas fisik hingga intelektual, sensorik, dan mental, yang semuanya memiliki kebutuhan unik dalam kesehatan seksual. Dante mengatakan, “Di Indonesia, banyak perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi seksual, bahkan diskriminasi dalam mengakses layanan kesehatan seksual. Keterbatasan anggaran, stigma, serta kurangnya tenaga medis yang terlatih dalam menangani kesehatan seksual penyandang disabilitas juga menjadi hambatan besar.”
Lebih lanjut, Dante mengajak para audiens, yang merupakan mahasiswa dan masyarakat umum, untuk memahami bahwa semua penyandang disabilitas, terlepas dari ragam disabilitas mereka, memiliki hak yang sama dalam kesehatan reproduksi dan seksual. Dalam seminar ini, Dante memberikan rekomendasi, termasuk pentingnya memperluas akses informasi yang inklusif, menyediakan edukasi kesehatan seksual yang berbasis hak, serta memastikan dukungan lintas sektor antara pemerintah, institusi kesehatan, dan masyarakat luas untuk mewujudkan lingkungan yang lebih inklusif.
(Foto: Prof. Shaniff saat membagikan pengalaman dunia terapi okupasi di Kanada)
Di samping itu, Prof. Shaniff membawa perspektif internasional mengenai kesehatan seksual dan disabilitas. Ia mengangkat peran terapi okupasi dalam mendukung ekspresi kesehatan seksual penyandang disabilitas. “Seksualitas merupakan aspek penting dari identitas manusia yang memengaruhi kesehatan emosional, harga diri, dan hubungan interpersonal seseorang. Di beberapa negara, termasuk Kanada, telah diterapkan pendekatan yang lebih inklusif dalam menangani kesehatan seksual penyandang disabilitas. Terapi okupasi di negara ini mengenal pendekatan holistik yang mengutamakan pemberdayaan klien, di mana intervensi kesehatan seksual disesuaikan dengan nilai-nilai budaya, kebutuhan, dan preferensi individu,” ungkap Prof. Shaniff.
Ia mengajak peserta agar menyadari dan berpendapat bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk menikmati kualitas hidup yang seimbang, termasuk dalam hal keintiman dan ekspresi seksual. Pentingnya pendidikan kesehatan seksual yang komprehensif juga diperlukan agar penyandang disabilitas tidak hanya memiliki pengetahuan tentang tubuh mereka, tetapi juga hak dan cara untuk mengekspresikannya dengan aman.
Di Kanada, terapi okupasi berfokus pada penyediaan peralatan adaptif untuk membantu individu dalam posisi fisik tertentu, mengelola kelelahan agar dapat berpartisipasi dalam hubungan intim, serta memberikan pelatihan tentang keterampilan komunikasi yang asertif. Contohnya, individu dengan cedera tulang belakang yang mengalami keterbatasan mobilitas diberikan alat bantu yang memudahkan mereka dalam berinteraksi secara intim. Prof. Shaniff juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman dan positif dalam terapi agar individu penyandang disabilitas merasa didukung.
Direktur Program Pendidikan Vokasi UI, Padang Wicaksono, S.E., Ph.D, mengatakan bahwa kegiatan pembelajaran yang menghadirkan praktisi dari industri merupakan salah satu upaya yang dilakukan Vokasi UI untuk memberikan bekal konkret bagi mahasiswa. “Kuliah umum ini juga merupakan langkah signifikan dalam meningkatkan kesadaran publik dan mendorong kebijakan inklusif di Indonesia. Kami berharap agar kuliah umum ini dapat menginspirasi lebih banyak pihak untuk mengakui dan memperjuangkan hak-hak kesehatan seksual bagi semua individu, tanpa terkecuali. Khususnya bagi mahasiswa, yang merupakan generasi di masa depan untuk menyuarakan berbagai hal tersebut,” tutup Padang.