Depok-Di era komunikasi global yang semakin kompleks, pemahaman etika dalam praktik kehumasan menjadi sangat penting, mencakup kemampuan menyampaikan pesan secara bertanggung jawab, adil, dan transparan. Tantangan etika ini dihadapi oleh praktisi humas di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Australia. Melihat fenomena tersebut, program studi (prodi) Hubungan Masyarakat, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia (UI), menyelenggarakan inbound lecture bertajuk “Ethics in Public Relations—A Comparative Study of Indonesia and Australia” sebagai wadah pembelajaran lintas budaya dan profesionalisme. Kegiatan yang digelar pada Rabu (14/05/2025) tersebut John Clements, dosen dan koordinator mata kuliah pada Master of Marketing Coomunications, University of Melbourne.

Memiliki pengalaman mumpuni yang dimiliki di bidang sumber daya manusia dan hubungan industrial di berbagai perusahaan besar Australia seperti Kmart, Kolsmeyer, dan AB Phillips, Clements membawa perspektif praktikal dan reflektif terhadap pentingnya etika dalam komunikasi profesional. Dalam paparannya, Clements mengawali diskusi dengan membandingkan karakteristik demografis dan sistem pemerintahan antara Indonesia dan Australia, yang menjadi dasar perbedaan konteks praktik kehumasan di kedua negara. Ia menekankan bahwa Australia cenderung memiliki regulasi yang lebih ketat dalam penerapan etika kehumasan, sementara Indonesia lebih mengandalkan pendekatan self-regulatory yang merujuk pada kode etik yang disusun oleh asosiasi profesional seperti Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS) dan Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI).

(Foto: Clements menjelaskan etika dalam dunia kehumasan)

“Prinsip-prinsip etika mendorong kita untuk membuat keputusan yang adil, transparan, dan bertanggung jawab,” ungkap Clements. Ia juga membahas dua teori etika utama yang sering dijadikan acuan, yakni egoisme—yang menekankan kepentingan pribadi, serta utilitarianisme—yang mengedepankan kepentingan bersama. “Sebagian besar keputusan etis yang kita ambil berada di antara dua kutub ini,” tambahnya.

Diskusi tersebut juga mengupas prinsip-prinsip etika menurut Public Relations Society of America (PRSA), termasuk kejujuran, keterbukaan, keadilan, dan akuntabilitas, serta pentingnya menghindari konflik kepentingan dalam praktik kehumasan. Clements turut menyoroti bagaimana budaya lokal memengaruhi praktik komunikasi etis. Ia mencatat bahwa mahasiswa di Asia, termasuk Indonesia, cenderung enggan menonjol dalam forum diskusi, dan ini menjadi tantangan tersendiri dalam membangun budaya diskusi terbuka yang esensial dalam dunia kehumasan modern.

(Foto: Clements mengajak para mahasiswa untuk berdiskusi)

Kuliah umum ini tidak hanya bersifat satu arah. Para peserta turut aktif mengajukan pertanyaan seputar dilema etis dalam kehumasan, baik di sektor korporasi maupun pemerintahan. Salah satu pertanyaan menarik datang dari mahasiswa mengenai peran PR dalam menghadapi disinformasi di era digital, yang dijawab Clements dengan menekankan pentingnya integritas dan tanggung jawab sosial seorang praktisi komunikasi.

Ketua Program Studi Hubungan Masyarakat, Mareta Maulidiyanti, S.Sos., M.M., mengatakan bahwa melalui kegiatan ini, selain mendapatkan pemahaman teoretis dan praktikal mengenai etika kehumasan, mahasiswa juga mendapat kesempatan untuk memperoleh wawasan dari perspektif internasional. “Inisiatif seperti ini sejalan dengan komitmen Universitas Indonesia dalam membekali mahasiswanya dengan kompetensi global dan pemahaman lintas budaya di bidang komunikasi profesional. Pertukaran perspektif lintas negara ini adalah langkah awal menuju praktik kehumasan yang lebih inklusif dan berstandar global,” tutup Mareta.

WhatsApp whatsapp
Instagram instagram
Email
chat Chat Us!