Depok-Persetujuan seksual (sexual consent) bukan sekadar persetujuan verbal atau sikap diam dalam hubungan, melainkan bentuk komunikasi yang harus eksplisit, setara, dan bebas dari tekanan. Dalam konteks relasi kuasa yang sering kali timpang, baik karena usia, jabatan, maupun status sosial, persetujuan seringkali tidak bisa diberikan secara bebas. Hal ini menjadi salah satu pokok bahasan utama dalam sesi edukasi bertajuk “Pencegahan Kekerasan Seksual dan Pemahaman Sexual Consent & Relasi Kuasa” yang dibawakan oleh Dr. Titin Ungsianik, S.Kp., M.B.A., Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Indonesia.
Menurut Titin, pemahaman terhadap kekerasan seksual perlu lebih dari sekadar mengenali bentuknya secara fisik. Kekerasan bisa hadir dalam bentuk pelecehan verbal, manipulasi emosional, hingga tekanan terselubung yang berakar pada relasi kuasa tidak setara. Dalam kasus-kasus seperti pemaksaan hubungan seksual oleh pacar, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, atau kehamilan yang berujung pada aborsi paksa, korban seringkali tidak menyadari bahwa mereka berada dalam relasi yang melanggar batas hak tubuh dan martabatnya.
“Relasi kuasa membuat pihak yang lebih lemah merasa tidak berhak menolak. Di sinilah pentingnya edukasi tentang persetujuan seksual, bahwa persetujuan harus bersifat aktif, bisa dicabut kapan saja, dan tidak berlaku jika diberikan dalam keadaan tidak sadar, tertekan, atau termanipulasi,” tegas Titin.
(Foto: Titin menjelaskan tentang Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG))
Kekerasan seksual juga semakin marak dalam bentuk kekerasan siber berbasis gender (KSBG). Fenomena seperti sextortion, cyber harassment, catfishing, dan revenge porn menargetkan kerentanan perempuan dan kelompok rentan lainnya melalui media sosial dan teknologi digital. Bentuk kekerasan ini sering kali mengakibatkan penderitaan psikologis yang mendalam dan sulit ditelusuri secara hukum karena bukti yang cepat hilang dan pelaku yang sulit dilacak.
“Banyak korban yang memilih diam karena takut dipermalukan, tidak dipercaya, atau disalahkan oleh lingkungan. Padahal dampaknya bisa sangat serius, mulai dari gangguan kesehatan mental, kehilangan rasa aman, hingga keinginan untuk mengakhiri hidup,” jelas Titin.
Edukasi ini juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman di kampus dengan penguatan kebijakan anti kekerasan seksual, penyediaan sarana pelaporan yang responsif, serta edukasi berkelanjutan seputar kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi.
(Foto: Titin mengajak mahasiswa untuk berhati-hati dan bijak dalam menggunakan media sosial dan menghindari penyimpangan perilaku saat berinteraksi di media sosial)
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia pada Rabu (17/07/2025) sebagai bagian dari rangkaian Training of Trainer (ToT) yang ditujukan bagi para mahasiswa. Melalui kegiatan ini, Vokasi UI berharap mahasiswa dapat menjadi agen perubahan yang peka terhadap isu kekerasan seksual dan mampu menyarankan pentingnya relasi yang sehat dan setara di lingkungannya. Di samping itu, pencegahan kekerasan seksual juga merupakan bagian penting dari pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-5 tentang kesetaraan gender, serta poin ke-16 tentang perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh, Edukasi mengenai sexual consent dan relasi kuasa menjadi langkah strategis dalam menciptakan ruang yang aman, inklusif, serta bebas dari kekerasan di lingkungan pendidikan tinggi.