Depok-Terapi okupasi memainkan peran penting dalam memastikan kesejahteraan lanjut usia (lansia) selama dan setelah situasi bencana. Pendekatan multidimensi dan berpusat pada klien merupakan upaya utama yang harus diperhatikan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi lansia dalam situasi darurat. Hal tersebut disampaikan oleh salah satu dosen program studi (prodi) Terapi Okupasi, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia (UI), Gunawan Wicaksono, A.Md.OT., S.K.M., M.Si., dalam kegiatan collaborative teaching dengan Universiti Teknologi MARA, Malaysia, beberapa waktu lalu.
Di negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand, lansia didefinisikan sebagai individu berusia 60 tahun ke atas. Dalam konteks bencana—baik alamiah seperti gempa bumi dan banjir, maupun nonalamiah seperti konflik atau kecelakaan industri—lansia menjadi salah satu kelompok paling rentan. Faktor seperti keterbatasan fisik, kondisi kesehatan kronis, keterisolasian sosial, dan keterbatasan mobilitas memperburuk dampak bencana terhadap mereka. “Penuaan bukanlah akhir dari produktivitas, melainkan fase perkembangan aktif. Sayangnya, dalam situasi bencana, lansia sering kali berada di garis belakang perhatian,” ungkap Gunawan yang memiliki kepakaran untuk terapi okupasi pada geriatri.
Beberapa tantangan besar yang kerap dihadapi lansia saat terjadi bencana, di antaranya masalah kesehatan fisik seperti cedera akibat terbatas mobilitas atau kondisi ortopedi yang memburuk; gangguan psikologis termasuk kecemasan, depresi, dan post-traumatic stress disorder (PTSD) yang diperparah oleh minimnya dukungan emosional; serta hambatan sosial dan ekonomi seperti keterpinggiran, kesulitan akses terhadap bantuan, dan kehilangan jejaring sosial. Gunawan membagikan solusi konkret yang diberikan terapi okupasi melalui intervensi di tiga fase penting, yaitu prabencana (pemetaan risiko, pelatihan relawan, dan rencana evakuasi inklusif), saat bencana (kolaborasi dengan komunitas untuk menjamin evakuasi aman dan akses bantuan dasar secara cepat), dan pascabencana (rehabilitasi mencakup pemulihan fisik dan mental, pelatihan keterampilan baru, serta integrasi sosial dan lingkungan).
(Foto: Gunawan saat memberikan kuliah daring di Universiti Teknologi MARA, Malaysia)
Meski menjanjikan, penerapan terapi okupasi di tengah bencana tidak lepas dari tantangan, seperti keterbatasan jumlah terapis, kurangnya bukti intervensi spesifik, serta kebutuhan kerja sama lintas sektor. Sehingga, perlu adanya pelatihan lanjutan dan integrasi terapis okupasi ke dalam sistem tanggap darurat nasional maupun lembaga nonpemerintah.
Guna memperkuat perlindungan lansia di masa krisis, Gunawan merekomendasikan beberapa hal, seperti integrasi terapi okupasi dalam kebijakan manajemen bencana nasional, penyusunan strategi yang mempertimbangkan aspek pengasuhan, psikososial, dan medis, kolaborasi dengan organisasi geriatri untuk menyusun sistem komunikasi dan rencana tanggap darurat, serta penguatan jaringan sosial lokal untuk mendukung konektivitas dan mitigasi risiko.
Melalui intervensi yang tepat, terapi okupasi dapat menjadi pilar ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana. Pendekatan ini tidak hanya memberikan dukungan medis dan rehabilitatif, tetapi juga memulihkan martabat dan peran sosial lansia dalam komunitasnya. Gunawan mengatakan, “Sudah saatnya kita menggeser perspektif dari bantuan berbasis belas kasihan ke sistem perlindungan yang berdaya dan inklusif. Terapi okupasi adalah kunci untuk memastikan bahwa para lansia tidak hanya bertahan, tetapi tetap memiliki kualitas hidup di tengah krisis.”
Keterlibatan Gunawan dalam kegiatan collaborative teaching tersebut menunjukkan bahwa kolaborasi internasional menjadi semakin penting. Direktur Program Pendidikan Vokasi UI, Padang Wicaksono, S.E., Ph.D, menyampaikan apresiasinya terhadap kontribusi akademisi dalam mendiseminasikan pengetahuan lintas negara. “Kami bangga bahwa dosen kami dapat berkontribusi dalam pengajaran dan riset di tingkat internasional. Hal ini mencerminkan kapasitas akademik kami yang siap bersaing dan bersinergi secara global. Ke depan, kami berharap dapat membuka lebih banyak ruang kolaborasi agar kontribusi keilmuan dapat berdampak nyata bagi masyarakat luas,” tutup Padang.