Depok-Program studi Terapi Okupasi, Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI) bersama Ikatan Alumni (ILUNI) Terapi Okupasi dan Himpunan Mahasiswa Program Studi Terapi Okupasi menggelar kuliah umum bertajuk “Strategi Mewujudkan Inklusi Bagi Individu Dengan Sindroma Down” pada Selasa (29/3/2022). Kuliah umum ini digelar dalam rangka memperingati Bulan Down Syndrome dengan menghadirkan Dr. dr. Christina Susilawati, Dokter dan Peneliti Masalah Tumbuh Kembang di Munchen, Jerman; Felicia Shan Sugata, S.T., M.M., Founder @downsyndome.id sekaligus orang tua dengan anak down syndrome sebagai narasumber dan dipandu oleh Vonny Susanti, A.Md. OT., M.Psi., Ketua DPD IOTI DKI Jakarta yang juga merupakan alumni Terapi Okupasi UI.

Kelainan kromosom genetik 21 (Trisomi 21) atau biasa dikenal dengan sindrom down merupakan kondisi kelainan genetik yang disebabkan ketika pembelahan sel pada manusia menghasilkan bahan genetik tambahan dari kromosom 21. Anak yang memiliki sindrom down ini memiliki beberapa gambaran fisik yaitu bentuk mata yang cenderung sipit, bentuk hidung yang khas (agak lebar atau pesek), pertumbuhan badan yang lambat dengan ukuran badan biasanya lebih pendek daripada anak pada umumnya, jari-jari tangan dan lengan lebih pendek, serta ukuran mulut lebih kecil dengan ukuran lidah yang lebih besar.

Susi menjelaskan bahwa anak dengan sindrom down cenderung memiliki risiko kesehatan yang rentan. “Gangguan yang dialami, seperti gangguan jantung bawaan, gangguan sistem pencernaan, fungsi kelenjar tiroid yang menurun, penurunan resistensi terhadap infeksi, risiko tinggi pada leukemia, gangguan pendengaran, kelemahan penglihatan, otot lemah, epilepsi, pertumbuhan gigi yang terhambat, dan diabetes dapat terjadi kepada anak-anak yang memiliki sindrom down tersebut,” jelas Susi.

(Foto: Sesi tanya jawab antara dr. Susi dengan peserta webinar)

Ia juga menyampaikan bahwa pemeriksaan kepada anak dengan sindrom down sangat dianjurkan dan rutin dilakukan agar dapat terdeteksi sedini mungkin. Selain itu, pemeriksaan di ortopedi juga perlu dilakukan, terutama pada kelemahan struktur otot di leher dan tulang belakang.

“Dukungan penuh sangat dibutuhkan dari pihak keluarga, baik dukungan melalui terapi, penanganan medis sejak dini, pendidikan inklusi, maupun penerimaan secara utuh dalam lingkup keluarga yang juga berdampak pada mental anak tersebut,” tambah Susi.

Pada kesempatan yang sama, Felicia Shan Sugat, membagikan pengalamannya mengenai tumbuh kembang anaknya. Felicia mengatakan bahwa anaknya—Bodhi— sudah diperkirakan akan lahir dengan sindrom down. “Setelah anak saya diperkirakan akan lahir dengan trisomi 21, saya berusaha mencari informasi mengenai sindrom down dan apa yang perlu dilakukan sebagai orang tua. Bahkan, setelah lahir pun anak saya juga mengidap gangguan jantung bawaan, sehingga perlu dilakukan operasi saat itu juga,” tutur Felicia.

Hal utama yang menjadi perhatian baginya adalah kondisi medis Bodhi. Selain itu, dukungan penuh, baik dari pasangan, orang tua, maupun keluarga, sangat besar dan membantunya untuk menerima kondisi yang dialami sang anak.

(Foto: Felicia membagikan pengalamannya sebagai orang tua dengan anak sindrom down)

Felicia mengatakan, “Stigma dari lingkungan di luar keluarga justru yang lebih banyak saya temui. Baik itu yang saya alami sendiri, maupun yang dialami oleh teman-teman di komunitas orang tua dengan anak sindrom down.”

Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki pusat layanan kesehatan khusus sindrom down. Felicia berharap di masa depan dapat disediakan fasilitas khusus dan tenaga medis yang dapat membantu orang tua dengan anak sindrom down lainnya agar dapat terus membantu memantau tumbuh kembang anak-anak mereka.

WhatsApp whatsapp
Instagram instagram
Email
chat Chat Us!